•00.49
Shutter Island*, sebuah film bertemakan psikologi yang cukup menarik dan layak tonton ditengah film-film sampah tak layak tonton yang hanya mengandalkan kecantikan dan kehebatan visual efect berbumbu adegan percintaan sebagai pemanis. Sebagai film berat, film ini [sama halnya dengan film-film berat lainnya] sangat tidak disarankan untuk mereka-mereka yg hanya ingin puas menyaksikan adu laga atau pamer kekuatan atau menangis atau lelah tertawa setelah menonton sebuah film [sebaiknya anda mencari film drama picisan atau komedi atau film action yang taunya cuma mengumbar kekerasan fisik yang dangkal].

Shutter Island adalah sebuah cerita yang diangkat dari sebuah novel yang bernuansa psikologi atau lebih tepatnya lagi tentang kegilaan [awalnya saya menyangka ceritanya akan memiliki kemiripan dengan Veronika Memilih Mati Karya Paulo Coelho, ternyata jauh berbeda]. Bercerita tentang seorang agen polisi yg mendapat tugas menyelidiki kasus larinya seorang pasien dari rumah sakit jiwa yang khusus menangani pasien-pasien sakit jiwa yang tergolong berat [dan dianggap monster mengerikan jika berada ditengah-tengah masyarakat]. Rumah sakit jiwa tersebut berada di sebuah pulau bernama Shutter Island yang cuma bisa diakses dengan sebuah kapal fery. Dalam proses penyelidikannya sang agen polisi tahu bahwa rumah sakit jiwa tersebut hanyalah kedok dari sebuah operasi penciptaan hantu-hantu pembunuh melalui pencucian dan pengontrolan pikiran. Penyelidikan terus berlanjut dan akhirnya sang agen polisi menyadari bahwa ternyata penyelidikan yang dia lakukan ternyata tidak lebih dari bagian dari jebakan dan proses perekrutan dirinya. Sang agen akhirnya terjebak dan tak mampu lagi keluar dari shutter island dan proses perekrutan yang memanfaatkan trauma yg dialaminya. Sebagaimana halnya orang yang telah di vonis gila, semakin dia mencoba menjelaskan secara rasional apa yang terjadi semakin dia akan dianggap gila dan semua yang dia lakukan dianggap sebagai bagian dari pertahanan diri.

Kalau kita menarik semuanya dalam kehidupan sosial kita maka akan terlihat bahwa apa yang digambarkan dalam cerita Shutter Island sesungguhnya rill ditenga-tengah kehidupan kita. Lihatlah bagaimana trauma diciptakan dalam kehidupan kita, pemboman yg tidak jelas siapa pelakunya namun menelan korban yang jelas, teroris yang kita tak pernah tahu siapa namun jelas ada korban, bencana non bencana alam [ledakan gas, lumpur lapindo, krisis pangan, iklim yang tak lagi menentu, dan bencana-bencana lainnya] yang jelas-jelas merupakan akibat perbuatan manusia, kesemua itu terus berulang dan pastilah melahirkan trauma yang berujung pada gangguan kejiwaan. Contoh terbaru adalah informasi yang dilontarkan SBY terkait dengan ancaman teror atas dirinya yang kemudian menjadi alasan untuk memunculkan sosok teroris baru beserta otak dibaliknya. Dan akhirnya kontrol dilakukan melalui trauma yang direkayasa sedemikian rupa. Perlawanan terhadap kontrol ditengah-tengah trauma yang berhasil direkayasa tidak lebih dari sebuah kegilaan dan semakin kita melawan maka semakin kita dianggap gila, paranoid, dan label penyakit kejiwaan lainnya.

Lalu apa yang harus dilakukan ?

Diakhir Film Shutter Island sang agen polisi berkata “lebih baik menjadi monster mengerikan, dari pada mati dalam damai”

yaaa … itulah yang harus dilakukan, kita mengikuti kontrol yang ada sampai tingkatan segila-gilanya sembari terus memelihara kesadaran akan apa yang sesungguhnya terjadi**

* jika anda termasuk penonton film-film berat dan cerdas, maka anda harus menonton film ini
** landasan teoritik tindakan ini dapat dibaca di buku Counterpleasures Karya Karmen MacKendrick

|
This entry was posted on 00.49 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.